Ketimpangan pembangunan antar wilayah dan kesejahteraan
penduduk bukanlah isu baru yang senantiasa menjadi isu tak kunjung padam.
Ukuran ketimpangan yang sederhana, indeks gini misalnya, memberikan sinyal
yang mendebarkan bagi banyak kalangan. Sejak tahun 2005, Indeks Gini Indonesia
konsisten meningkat dari 0,363 (2005)
menjadi 0,413 (2013), dan masih
pada kisaran 0,41 pada Maret 2015 (BPS, 2016). BPS mengingatkan angka 0,4
adalah petanda lampu kuning. Ketimpangan yang meningkat berarti terdapat perbedaan penerima manfaat atas
pembangunan, dan menjadi petanda
perbedaan yang semakin menyolok aksesibilitas
antara kelompok penduduk. Ketimpangan yang “sudah” melampai batas aman ini tentunya
menjadi peringatan dini bagi pemerintah. Lebih utama ketika pembangunan disandingkan antara
wilayah. Pulau Papua yang terdiri dari dua provinsi, senantiasa berada
pada posisi terbawah ketika
berbicara tentang kemakmuran dan kesejahteraan wilayah dan penduduk.
Untuk ukuran kualitas hidup penduduk, misalnya, diukur dari Indek Pembangunan
Manusia berada pada pada posisi buncit (lihat
tabel 1).
TABEL
1.
Perkembangan
IPM berdasarkan Pulau Besar, 2010 - 2014
PULAU
|
2010
|
2011
|
2012
|
2013
|
2014
|
Sumatra
|
66.61
|
67.11
|
67.68
|
68.36
|
68.85
|
Jawa + Bali
|
68.43
|
69.07
|
69.66
|
70.30
|
70.82
|
Kalimantan
|
66.11
|
66.66
|
67.34
|
68.02
|
68.55
|
Sulawesi
|
64.25
|
64.98
|
65.59
|
66.16
|
66.73
|
Maluku
|
63.53
|
63.97
|
64.68
|
65.44
|
65.96
|
Nusa Tenggara
|
60.19
|
61.19
|
61.90
|
62.72
|
63.29
|
Papua
|
57.03
|
57.46
|
57.93
|
58.58
|
59.02
|
Indonesia
|
66.53
|
67.09
|
67.70
|
68.31
|
68.90
|
Sebagai contoh lima tahun terakhir (2010 – 2014) Rata rata Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) Pulau Papua sangat sedikit
bergerak. Bahkan terjadi penurunan
kualitas hidup bila dibandingkan dengan kesenangan hasil/capaian IPM Pulau Papua dengan IPM secara nasional. Tabel 1.
Memperlihatkan terdapat selisih antara IPM Indonesia dengan Papua
sebesar 9,51 pada tahun 2010 (66.52 – 57.03); selanjutnya pada tahun 2014
selisih capaian membesar menjadi 9.89.
Semakin melebarnya selisih terjadi divergensi pembangunan antara pembangunan
nasional dengan pembangunan regional Papua.
Belum lagi ketika fakta fakta tentang kemiskinan disajikan tentang
kemiskinan. Tingkat kemiskinan nasional adalah 11,3% pada tahun 2015, sementara
itu Pulau Papua masih ditemukan 25,73% (Papua Barat) dan 28,4% (Papua) pada tahun yang sama.
Padahal secara demografis, jumlah penduduk papua, masih relatif rendah dengan
tingkat sebaran yang lebar. Melalui RPJMN 2015 2019, tingkat kemiskinan papua
pada tahun 2019 ditargetkan menjadi 20,6%. Ini berarti terdapat 7,8% selama lima tahun atau rata rata 1.56% pertahun terjadi penurunan kemiskinan
bagi Papua.
Secara kewilayahan, dilihat
berdasarkan desa-kota, dari jumlah desa
6.269 desa (BPS, 2014) tidak satu pun
desa yang memiliki status desa mandiri berdasarkan Indeks Desa Membangun 2015
yang ditetapkan oleh Kementrian Desa. Sedangkan desa maju 12 desa, desa
berkembang adalah 171 desa, desa tertinggal adalah 1.126 desa, dan desa sangat
tertinggal adalah 4.960 desa (Lihat lampiran 1). Jelas ini bukan pekerjaan yang
mudah mengingat Papua memiliki karakteristik geografis/topografis, karakter
budaya dan psikologi sosial yang beragam.
Selain itu, dari sisi perekonomian
nasional, kontribusi perekonomian
Papua masih berkisar 2,2% pada tahun
2015; dan masih didominasi oleh kontribusi Jawa sebesar 58%. Struktur
perekonomian masih didominasi oleh sektor primer/ektraktif seperti pertanian
dan pertambangan. Meningkatkan nilai tambah perekonomian menuntut kesiapan
sumber daya manusia yang handal dan dukungan prasarana dan sarana yang memadai. Di sinilah tantangannya, termasuk sumber
sumber pembiayaan dari Pusat dan Daerah.
Sekelumit fakta ini menjadi buah pertanyaan : kemana denyut pembangunan itu? Kita bisa
berseloroh itu kan data sebelum 2014. Bagaimana nasib
masyarakat Papua ke depan?
Tema Pokok Pembangunan dalam RPJMN 2015 - 2019
Papua masih dihadapkan pada persoalan kemiskinan, kualitas hidup manusia
yang rendah, sumber daya alam yang tidak
terkelola untuk kemakmuran rakyat papua, infrastruktur yang buruk. Isu isu itu telah direspon oleh Kabinet Kerja
yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Tujuan pengembangan Wilayah Papua tahun 2015-2019
adalah mendorong percepatan dan perluasan pembangunan Wilayah Papua untuk meningkatkan
kualitas hidup masyarakat Papua melalui percepatan dan perluasan pembangunan
Wilayah Papua dengan menekankan keunggulan dan potensi daerah yang berbasis
kesatuan adat melalui: (a) pemenuhan kebutuhan dasar dan ketahanan hidup yang
berkelanjutan, serta pemerataan pelayanan pendidikan, kesehatan, dan perumahan
rakyat yang terjangkau, berkualitas, dan layak, (b) pengembangan kemandirian
ekonomi berkelanjutan berbasis wilayah adat khususnya di Provinsi Papua melalui
pengembangan industri kecil dan menengah
dibidang pertanian berbasis komoditas lokal, pengembangan perkebunan dan
pertanian tanaman non-pangan, Pengembangan kemaritiman yaitu industri perikanan
dan pariwisata bahari; pengembangan potensi budaya dan lingkungan hidup, yaitu
pariwisata budaya, cagar alam dan taman nasional; dan pengembangan hilirisasi
komoditas minyak, gas bumi dan tembaga. (c) penyediaan infrastruktur yang
berorientasi pelayanan dasar masyarakat maupun peningkatan infrastruktur yang
berorientasi pengembangan investasi dan pengembangan komoditas, serta (d)
peningkatan SDM dan Ilmu dan teknologi secara terus-menerus.
Dibawah Kabinet Kerja tahun 2015 –
2019 telah memberikan prioritas program pembangunan yang mencakup :
- Percepatan pengembangan industri berbasis komoditas lokal yang bernilai tambah di sektor/subsektor pertanian, perkebunan, peternakan dan kehutanan;
- Percepatan pengembangan ekonomi kemaritiman melalui pengembangan industri perikanan dan parawisata bahari;
- Percepatan pengembangan pariwisata budaya dan alam melalui pengembangan potensi sosial budaya dan keanekaragaman hayati;
- Percepatan pengembangan hilirisasi industri pertambangan, minyak, gas bumi dan tembaga;
- Peningkatan kawasan konservasi dan daya dukung lingkungan untuk pembangunan rendah karbon; serta
- Penguatan kapasitas kelembagaan pemerintahan daerah dan masyarakat;
- Pengembangan kawasan ekonomi inklusif dan berkelanjutan berbasis wilayah kampung masyarakat adat, melalui percepatan peningkatan kualitas sumberdaya manusia Papua yang mandiri, produktif dan berkepribadian.
Adapun sasaran
pengembangan Wilayah Papua pada tahun 2015- 2019, dalam rangka percepatan dan perluasan pengembangan
ekonomi Wilayah Papua, akan dikembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi
dengan memanfaatkan potensi dan keunggulan daerah, termasuk diantaranya adalah
pengembangan 2 kawasan ekonomi khusus, 1 kawasan industri, pengembangan 5
kawasan adat dan pusat-pusat pertumbuhan penggerak ekonomi daerah pinggiran
lainnya.
Untuk mengurangi kesenjangan antarwilayah di Wilayah
Pulau Papua dilakukan pembangunan daerah tertinggal dengan sasaran sebanyak 9
Kabupaten tertinggal dapat terentaskan dengan sasaran outcome: (a) meningkatkan
rata-rata pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal menjadi 9,5 persen di tahun
2019; (b) menurunnya persentase penduduk miskin di daerah tertinggal menjadi
rata-rata 22,63 persen di tahun 2019; (c) meningkatnya Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) di daerah tertinggal sebesar rata-rata 61,40 pada tahun 2019.
Untuk mendorong
pertumbuhan pembangunan kawasan perkotaan di Papua akan dilakukan optimalisasi
peran 2 kota otonom berukuran sedang sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, pusat
pelayanan primer, dan hub untuk Pulau
Papua dan Maluku dalam bentuk Pusat Kegiatan Nasional (PKN) sekaligus sebagai pendukung
pengembangan kawasan perbatasan negara.
Sesuai dengan amanat UU
6/2014 tentang Desa, maka akan dilakukan pembangunan perdesaan dengan sasaran
berkurangnya jumlah desa tertinggal sedikitnya 340 desa atau meningkatnya
jumlah desa mandiri sedikitnya 140 desa.
Untukn meningkatkan
keterkaitan desa-kota, dengan memperkuat 4 pusat pusat pertumbuhan sebagai
Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) atau Pusat Kegiatan Lokal (PKL). Sedangkan untuk mewujudkan
kawasan perbatasan sebagai halaman depan negara yang berdaulat, berdaya saing,
dan aman, akan dikembangkan 3 Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) sebagai
pusat pertumbuhan ekonomi kawasan perbatasan negara yang dapat mendorong
pengembangan kawasan sekitarnya.
Pelaksanaan Otonomi
Daerah di Wilayah Papua ditunjukkan dengan: (1) Meningkatnya proporsi
penerimaan pajak dan retribusi daerah sebesar 10 persen untuk propinsi dan 7
persen untuk kabupaten/kota; (2) Meningkatnya proporsi belanja modal dalam APBD
propinsi sebesar 35 persen dan untuk Kabupaten/Kota sebesar 35 persen pada
tahun 2019 serta sumber pembiayaan lainnya dalam APBD; (3) Meningkatnya jumlah
daerah yangmendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) sebanyak 2 provinsi
dan 20 kabupaten/kota di wilayah Papua; (4) Meningkatnya kualitas dan proporsi
tingkat pendidikan aparatur daerah untuk jenjang S1 sebesar 50 persen dan S2-S3
sebesar 5 persen; (5) Terlaksananya diklat kepemimpinan daerah serta diklat
manajemen pembangunan,
kependudukan, dan keuangan daerah di seluruh wilayah Papua sebesar 30 angkatan;
(6) Terlaksananya evaluasi otsus dan pembenahan terhadap kelembagaan, aparatur,
dan pendanaan pelaksanaan otsus; (7) Terlaksananya sinergi perencanaan dan
penganggaran di wilayah Papua (dengan proyek awal Provinsi Papua); (8)
Meningkatnya implementasi pelaksanaan SPM di daerah, khususnya pada pendidikan,
kesehatan dan infrastruktur; (9) Meningkatnya persentase jumlah PTSP sebesar 40
persen; (10) Terlaksananya koordinasi pusat dan daerah melalui peningkatan
peran gubernur sebagai wakil pemerintah; (11) terlaksananya sistem monitoring
dan evaluasi dana transfer secara on-line di wilayah Papua; (12)
Terlaksananya penguatan kelembagaan Badan Percepatan Pembangunan Kawasan Papua
dan Papua Barat.
Sasaran penanggulangan bencana
di Wilayah Papua adalah mengurangi Indeks Risiko Bencana pada 10 kabupaten/kota
sasaran (Kota Jayapura, Kota Sorong, Kota Manokwari, Kabupaten Merauke, Sarmi,
Yapen, Nabire, Raja Ampat, Teluk Bintuni dan Biak Numfor) yang memiliki indeks
risiko bencana tinggi, baik yang berfungsi sebagai PKN, PKW, Kawasan Industri
maupun pusat pertumbuhan lainnya.
Memahami Papua, Menggerakkan Papua
Rencana rencana pembangunan di atas yang disusun secara nasional tidaklah
semudah implementasinya. Kita perlu ingat bahwa pembangunan pada esensinya
adalah pembebasan dari segala bentuk belenggu, baik struktural maupun kultural,
untuk menempatkan manusia secara bermartabat. Rumus lama ini senantiasa
didengungkan namun sulit untuk diterjemahkan ke dalam praksis pembangunan. Membangun Papua dimulai dari rakyat papua; dari sejarah, pengalaman, nilai
nilai budaya dan psikologis papua. Pembangunan
Papua tidak semata mata wajah ekonomi , melainkan pembangunan utuh dalam
konteks ruang sosial (social space).
Penggerak utama pembangunan didasarkan pada insentif kultural (budaya), insentif
sosial dan insentif ekonomi. Ketiganya
menjadi kesatuan yang tidak terpisahkan.
Mengabaikan yang satu akan menggagalkan bangunan keseluruhan. Apakah strategi dan program serta langkah
langkah yang diambil oleh Pusat ( sebagaimana terdapat dalam dokumen RPJMN 2015
– 2019) akan tepat sasaran dan memenuhi kehendak masyarakat Papua? ( @bambangwl).